KOPERASI INDONESIA DITENGAH KOPERASI DUNIA
Oleh Djabaruddin Djohan
(Ketua L S P P I)
Dalam kunjungan ke negeri Skandinavia (Denmark, Swedia, dan Norwegia), Menteri Perdagangan dan Koperasi (1978-1983) Radius Prawiro bersama Bustanil Arifin, Menteri Muda Koperasi saat itu, mengagumi berbagai jenis koperasi di sana.
Secara berseloroh, Radius bertanya kepada Bustanil, mengapa koperasi di Skandinavia berkembang? ”Itu karena di negara-negara ini tak memiliki Undang- Undang Koperasi dan Menteri Koperasi.”
Seloroh itu masih sering muncul hingga kini. Maklum, koperasi kita tak kunjung menjadi lembaga ekonomi dan sosial yang berarti meski berbagai upaya dilakukan.
Perjalanan panjang koperasi, kedudukan politis dan strategis dalam UUD 45, pembentukan wadah gerakan koperasi (Dekopin) yang tahun ini berusia 61 tahun, diikuti perlindungan dan fasilitas berlimpah tidak menjadikan koperasi kian berdaya sebagai lembaga ekonomi maupun gerakan. Berbagai UU dan menteri koperasi tak juga mampu mengubah wajah koperasi, yang pernah diimpikan sebagai ”saka guru perekonomian nasional”.
Dalam pertemuan International Cooperative Alliance (ICA)-organisasi gerakan koperasi internasional-Oktober 2007, Global 300 menyajikan profil 300 koperasi kelas dunia, berasal dari 28 negara yang turnover-nya mulai dari 63,449 juta dollar AS hingga 654 juta dollar AS.
Tanpa UU dan menteri
Koperasi terbanyak bergerak di sektor keuangan (perbankan, asuransi, koperasi kredit/credit union) sebesar 40 persen, disusul koperasi pertanian (termasuk kehutanan) 33 persen, koperasi ritel/wholesale 25 persen, sisanya koperasi kesehatan, energi, manufaktur, dan sebagainya.
Dari 300 koperasi itu, 63 ada di AS, 55 di Perancis, 30 di Jerman, 23 di Italia, dan 19 di Belanda. Yang menarik, di negara-negara kapitalis liberal ini, tidak memiliki UU dan menteri koperasi.
Meski demikian, bukan berarti di negara-negara yang mempunyai UU dan menteri koperasi, koperasinya tidak berkembang baik. Sebut saja Jepang yang menempatkan 13 koperasinya dalam Global 300, salah satunya adalah Zen Noh, koperasi pertanian yang turnover-nya 63.449 juta dollar AS dan aset 18,357 juta dollar AS (2005), menduduki peringkat pertama. Lalu, Korea Selatan dua koperasi, India (tiga koperasi), bahkan Singapura menempatkan dua koperasi (koperasi konsumen dan asuransi) dalam deretan Global 300. Atau dalam kelompok/daftar koperasi negara berkembang, disebut Developing 300 Project, dengan turnover tertinggi 504 juta dollar AS, ada negara, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, atau Filipina, yang masing-masing menyumbang lima koperasi. Dari Afrika, seperti Etiopia, Kenya, Tanzania, dan Uganda, masing-masing menyumbangkan lima koperasi.
Entah karena keteledoran otoritas atau koperasi kita belum ada yang memenuhi syarat untuk masuk dalam kelompok ini, tak sebuah koperasi dari Indonesia yang terjaring. Apa yang terjadi dengan perkembangan koperasi di Indonesia sehingga penampilannya jauh tertinggal dari koperasi-koperasi di negara lain, bahkan dari negara-negara sedang berkembang lainnya?
”Alat politik”
Pada masa ”Orde Lama” koperasi menjadi ”alat politik” pemerintah dan partai dalam rangka nasakomisasi. Pada masa ”Orde Baru” koperasi menjadi ”alat dan bagian integral pembangunan perekonomian nasional” yang dilimpahi bermacam fasilitas. Kebijakan yang menempatkan peran pemerintah amat dominan dalam pembangunan koperasi menjadikan gerakan koperasi amat bergantung pada bantuan luar, hal yang amat bertentangan dengan hakikat koperasi sebagai lembaga ekonomi sosial yang mandiri.
Kini, pada masa reformasi, yang seharusnya saat tepat untuk back to basic, membangun koperasi yang mandiri, kenyataannya sikap ketergantungan gerakan koperasi justru terasa amat kuat. Hal ini antara lain tecermin dari keberadaan Dekopin, organisasi tunggal gerakan koperasi, yang praktis seluruh kegiatannya masih bergantung pada APBN (satu hal yang mendorong konflik berkepanjangan di kalangan gerakan sendiri), bukan pada dukungan dari anggotanya sebagai wujud kemandirian.
Lebih parah lagi antara gerakan koperasi (Dekopin) dan pemerintah (Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM) yang seharusnya bersama membangun koperasi—seperti dilakukan beberapa negara tetangga—sulit terjadi. Masing-masing memiliki agenda sendiri. Akibatnya, pembangunan koperasi tak terarah.
Dalam pembangunan koperasi, kita perlu belajar dari pengalaman pahit selama ini, sekaligus belajar dari keberhasilan negara lain mengembangkan koperasi?.
0 komentar:
Posting Komentar