Salah satu bagian terpenting dari pembahasan ekonomi Islam adalah masalah kemiskinan: apa, mengapa dan bagaimana cara mengatasinya. Kemiskinan memang merupakan fenomena yang tidak akan pernah terpisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat. Apapun, kemiskinan pasti akan membuat hidup seseorang tidak mudah. Kemiskinan membuat orang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan gizi yang cukup, pendidikan yang semestinya dan penyediaan kebutuhan lain secara layak. Akibatnya, orang yang miskin cenderung berpendidikan rendah, kurang gizi dan hidup dalam keterbatasan. Pendidikan yang rendah membuat kualitas sumberdaya yang dimilikinya juga rendah. Jadi, miskin harta membawa miskin keahlian dan pada akhirnya miskinproduktivitas.
Tapi yang paling utama, kemiskinan adalah produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi kekayaan secara tidak adil. Fakta empirik menunjukkan, bahwa bukan karena tidak ada makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan, atau tidak ada rumah sehingga banyak rakyat yang harus tinggal di bantaran sungai atau di emperan toko, melainkan buruknya distribusi makanan, rumah dan sebagainya
Mengapa distribusi buruk? Sistem serta kebijakan pengambil keputusan lah yang membuat distribusi tidak berjalan dengan baik. Sistem ekonomi kapitalistik semula memang percaya bahwa dalam ekonomi pasar akan terdapat tangan yang tidak kelihatan (the invicible hand) yang akan mengatur ekonomi dengan sebaik-baiknya. Bila ekonomi memberikan kesejahteraan pada individu, resultantenya adalah berupa kemakmuran bersama. Tapi ternyata tangan tidak kelihatan yang diharap-harap itu tidak muncul. Memang ada sebagian kecil individu yang sejahtera. Tapi itu tidak secara otomatis menghasilkan kemakmuran bersama. Di tengah kemakmuran segelintir orang, sebagian besar anggota masyarakat lain justru miskin dan terus menerus mengalami proses pemiskinan
Di lain pihak sistem ekonomi islam mempunyai instrumen ZISWAF (Zakat,Infak,Sedekah, dan Wakaf).Mekanisme zakat memastikan aktifitas ekonomi dapat berjalan pada tingkat yang minimal yaitu pada tingkat pemenuhan kebutuhan primer, sedangkan infak-shadakah dan intsrumen sejenis lainnya mendorong permintaan secara agregat, karena fungsinya yang membantu ummat untuk mencapai taraf hidup diatas tingkat minimum. Karena oleh negara infak-shadaqah dan instrumen sejenisnya inilah yang melalui bitul mal digunakan untuk mengentaskan kemiskinan melalui program-program pembangunan. Jadi zakat dan infak-shadaqah memiliki perannya masing-masing. Pada kondisi ummat yang baik dimana tingkat keimanannya ada pada level yang baik, maka pendapatan negara yang bersumber dari infak-shadaqah sepatutnya lebih besar dari penerimaan zakat.
Zakat dengan institusi amil zakat menjaga hubungan yang baik antara si miskin dan si kaya, tanpa perlu mengorbankan harga diri golongan miskin, disebabkan mekanisme distribusi zakat yang melalui baitul mal. Begitu juga dengan efek negatif dari kesenjangan yang amat dalam antara kaya dan miskin seperti meningkatnya kriminalitas, kemaksiatan dan segala tingkah laku negatif, akan dengan signifikan tereduksi.
Monzer Kahf (1992) mengatakan bahwa melalui golongan masyarakat penerima (mustahik) dan pembayar (muzakki), zakat memiliki peran dalam mendorong kinerja ekonomi. Menurut Kahf, zakat yang diterima oleh mustahik akan meningkatkan konsumsinya yang tentu kemudian meningkatkan agregat permintaan secara makro.
Sementara itu pada pihak muzakki, zakat akan meningkatkan rasio simpanan mereka, dengan asumsi bahwa tiap individu akan mempertahankan tingkat kekayaannya. Jadi peningkatan rasio tabungan, menurut Kahf merupakan kompensasi dari pembayaran zakat. Dan peningkatan rasio tabungan ini memiliki hubungan yang erat dalam peningkatan investasi dari muzakki. Peningkatan output akibat naiknya tingkat konsumsi mustahik membuat muzakki melakukan (keputusan) investasi. Sehingga pada saat yang sama akan meningkatkan pemintaan agregat.
Penanggungan kebutuhan hidup minimal tidak hanya diberikan pada masyarakat Islam saja (meskipun sumbernya bukan dari zakat), masyarakat non-Islam pun dapat memperoleh jaminan tersebut. Hal ini tergambar dari perjanjian pedamaian untuk penduduk Hairah di Irak yang ditulis Khalid bin walid pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a. Dalam perjanjian tersebut jaminan kebutuhan hidup minimal diberikan oleh Baitul Mal kepada setiap orang tua yang tak kuat bekerja, cacat atau fakir-miskin dan dihapuskan kewajiban membayar jizyah sepanjang ia tinggal di negaa Islam
Beberapa negara yang menerapkan system ekonomi konvensional memiliki instrumen yang berfungsi hampir sama dengan zakat. Beberapa negara (teutama negara barat) menerapkan tunjangan social bagi penduduknya yang tidak memiliki kerja, uzur atau tidak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah. Dan sumber pendanaannya adalah berasal dari pajak. Namun karakteistik pajak serta tunjangan social tersebut berbeda sama sekali dengan mekanisme yang ada dalam Zakat. Penjaminan dalam mekanisme zakat merupakan prioritas utama dalam kebijakan ekonomi. Sedangkan dalam konvensional tunjangan social sangat tergantung pada penerimaan pajak, ketika dana pajak dirasakan tidak mencukupi, maka tunjangan tersebut bukanlah menjadi prioritas yang utama.
tags:
sejarah islam dan nabi
0 komentar:
Posting Komentar