Menurut estimasi Juli 2003, Penduduk Indonesia berjumlah 234.893.453 orang dan tersebar di 17.000 pulau (Taum, 2006). Indonesia merupakan salah satu di antara sedikit negara di dunia yang memiliki karakteristik sebagai negara multietnik. Di Indonesia diperkirakan terdapat 931 etnik dengan 731 bahasa. Ada etnis yang besar dan ada yang kecil (lihat Lampiran 1). Etnis besar di Indonesia antara lain: Jawa, Sunda, Madura, Melayu, Bali, Minangkabau, Batak, Dayak, Bugis, dan Cina. Sebagai Negara yang multietnis, tidak hanya bentuk fisik melainkan juga sistem religi, hukum, arsitektur, obat-obatan, makanan, dan kesenian orang Indonesia pun berbeda-beda menurut etnisnya. Indonesia juga merupakan sebuah negara yang mempunyai tradisi religi atau agama yang cukup kuat. Ada lima agama besar di Indonesia, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. Dalam beberapa tahun ini, setelah tahun 1998, Kong Hu Cu juga mulai kembali berpengaruh di Indonesia.
Indonesia ibarat sebuah taman yang ditumbuhi aneka bunga berwarna-warni. Akan tetapi, jika keragaman itu tidak dikelola dengan baik, konflik akan mudah pecah. Futurolog terkemuka seperti John Naisbitt dan Alfin Toffler juga memprediksikan tentang menguatnya kesadaran etnik (ethnic consciousnes) di banyak negara pada abad ke-21. Berbagai peristiwa pada dua dasawarsa terkahir abad ke-20 memang perlawanan terhadap dominasi negara ataupun kelompok-kelompok etnik lain. Berjuta-juta nyawa telah melayang dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Samuel Huntington (1997) merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of civilisation.” Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya. Blok-blok dunia juga akan banyak ditentukan oleh kepemihakan terhadap agama dan kebudayaan.
Kutipan pernyataan para futurolog ini hanya untuk mengingatkan bahwa kebudayaan tidak jarang membangun blok-blok yang dapat menimbulkan ketegangan dan bahkan peperangan. Masyarakat terutama yang mempunyai karakter multi-etnis dan multi-agama perlu senantiasa menggali wawasan kebangsaannya untuk menghindari ketegangan-ketegangan baru. Konflik horisontal antar kelompok masyarakat tertentu di Indonesia (Ambon, Kupang, Sambas, Palangkaraya, Sampit, Papua, Poso, Lombok, Tasikmalaya, Jakarta, Solo, Surabaya, dll) seharusnya menggugah bangsa ini untuk kembali merenungi pertanyaan-pertanyaan mendasar.
Pertanyaannya adalah apakah pola hidup dalam keberagaman sudah membudaya dalam alam kesadaran orang Indonesia? Sedalam apakah pemahaman kita akan keragaman orientasi, referensi, dan tindakan-tindakan dalam pengambilan kebijakan?
Apakah kesadaran etnik yang bermunculan di berbagai wilayah tanah air akan mengarah pada perbenturan peradaban bangsa kita? Masalah-masalah sosial apa sajakah yang mudah memunculkan konflik dalam masyaraat multietnik? Adakah metode yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik berbasis etnik? Makalah ini bermaksud membahas masalah-masalah tersebut, sekalipun hanya bersifat permukaan saja. Tidak ada pretense untuk membahas dan memberi jawaban dan solusi yang tuntas. Makalah ini dimaksudkan sekedar untuk memancing diskusi dan pembahasan lebih lanjut.
2. Keragaman pada Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi
Indonesia telah mengalami beberapa bentuk pemerintahan dengan nuansa demokrasi yang berbeda-beda. Pemerintahan Orde Lama melihat keragaman budaya di Indonesia sebagai sebuah bentuk pluralisme. Konsep pluralisme adalah buah dari kompromi Sutan Takdir Alisjahbana dengan Sanusi Pane yang ditengahi oleh Ki Hajar
Dewantara, sehingga muncullah rumusan seperti kebudayaan nasional adalah puncakpuncak kebudayaan daerah, dan seterusnya itu. Kesadaran akan pluralisme kebudayaan membuat pemerintah Orde Lama berkeinginan mengkonservasi pencapaian budayabudaya daerah, sehingga mengabaikan unsur dinamika dalam kebudayaan.
Selama tiga dekade kekuasaan rezim Orde Baru, Indonesia dipaksa untuk menukar kebebasan politik dengan kemajuan ekonomi. Selama pemerintahan yang otoriter dan militeristik ini, pembicaraan seputar SARA (Suku, Agama, dan Ras) merupakan hal tabu. Permasalahan di ranah tersebut hampir tidak pernah diangkat atau didialogkan secara terbuka. Bangsa ini seolah-olah bersembunyi di balik slogan “Bhineka Tunggal Ika” yang hanya sekedar mengukuhkan otoritas penguasa dalam melakukan penyeragaman, uniformalitas dan menyepelekan perbedaan.
Kebijakan Orde Baru menyimpan potensi konflik sebagai sebuah bom waktu. Begitu Orde Baru runtuh, konflik bernuansa SARA bermunculan dan mewarnai Era Reformasi. Deretan peristiwa kerusuhan berbau SARA itu sesungguhnya merupakan perwujudan dari menguatnya apa yang disebut revolusi identitas (identity revolution).
Batas-batas identitas (etnis, juga agama, ras, dan antar golongan) yang selama rezim orde baru ditabukan sebagai SARA dan dipercaya subversif justru sudah mulai bangkit sebagai sebuah kekuatan basis. Kebijakan Era Reformasi memberikan otonomi daerah tidak serta-merta menyelesaikan masalah keragaman ini. Satu hal yang unik di Indonesia, sebuah pemerintahan di Daerah Tingkat II umumnya didominasi satu suku. Kondisi masyarakat daerah seperti ini bisa menjadikan orang daerah menjadi lebih sukuis/etnosentris. Contoh yang paling muda diamati adalah Pilkada langsung, yang cenderung diikuti dengan demontrasi jalanan dan perusakan fasilitas umum. Perilaku ini membuat budaya daerah tertentu kehilangan nilai-nilai, mereka berubah jadi buas dan brutal. Contoh yang lain adalah konflik-konflik bermotif etnik, seperti: Aceh, Kalimantan, Poso, dan Maluku. Inilah kondisi yang telah terjadi di Indonesia dan masih berpotensi untuk muncul.
Apakah Indonesia dapat menjamin bahwa desentralisasi benar-benar akan menjadi perekat bagi persatuan nasional dan memperkuat komitmen nasional terhadap pembangunan manusia?
Jakarta, Koran Internet: Pengamat ekonomi Aviliani berpendapat pemerintah pusat seharusnya membuat semacam indikator penilaian keberhasilan pembangunan di daerah dikaitkan dengan alokasi dana dari pemerintah pusat.
"Harus ada indikator yang dapat mengukur berhasil tidaknya program-program pemerintah daerah. Indikator tersebut dapat menjadi acuan penilaian apakah daerah benar-benar mampu mengelola anggaran pemerintah," kata Aviliani, menanggapi pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menyampaikan keterangan pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan Daerah pada Sidang Paripurna DPD-RI, di Gedung MPR/DPR, Jumat (22/8). Pada pidato tersebut terungkap transfer dana pemerintah ke daerah pada tahun 2009 direncanakan Rp303,9 triliun atau naik 134,3 persen dari tahun 2004.
Anggaran tersebut bentuk Dana Bagi Hasil Rp89,9 triliun, naik 144,9 persen dari tahun 2004, Dana Alokasi Umum Rp183,4 triliun naik 123,3 persen dari tahun 2004, dan Dana Alokasi Khusus Rp22,3 triliun naik lebih dari empat setengah kali lipat dari tahun 2004. Menurut Aviliani seakan menjadi formalitas alokasi dana ke daerah terus meningkat dari tahun ke tahun namun penyerapannya tidak maksimal dan bahkan terindikasi ada penyimpangan.
Di atas kertas, anggaran yang lebih dari cukup tersebut jelas peruntukannya akan tetapi realisasi penggunaannya tidak ada kewajiban mempertanggungjawabkan program yang ditetapkan pemerintah dan daerah. Pendidikan untuk mengurangi buta aksara, program pemberdayaan masyarakat untuk menurunkan angka kemiskinan misalnya, tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan, sehingga jumlah penduduk miskin dan penggangguran tidak bisa dikurangi.
Akibatnya angka kemiskinan secara nasional tidak bisa ditekan karena jumlah penduduk dengan pendapatan rendah bermunculan dari daerah. "Ini pertanda target berbagai program pemerintah dengan yang disepakati dengan tidak jalan. Perlu koordinasi dan pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah pusat agar tujuan pembangunan daerah mencapai sasaran," katanya.
Terkait dengan pidato Kepala Negara, Aviliani menjelaskan cenderung hanya sebatas orasi yang sifatnya sebagai kewajiban belaka. "Saya tidak menyebutkan itu kampanye, tetapi terkesan asal ada atau yang penting antara pusat dan daerah itu dapat memenuhi kewajiban rutin yang disampaikan secara formal di depan sidang Paripurna DPD, tidak lebih dari itu. Ini harus segera dirubah "mindset"nya," katanya.
Hambat investasi
Menurut Aviliani kebijakan desentralisasi belakangan ini juga sebaiknya tidak mutlak, harus lebih fleksibel yang disinkronkan dengan program-program bersama antara pemerintah pusat dan daerah. "Kebijakan-kebijakan tertentu terkadang tidak harus semuanya dilepas ke daerah karena yang terjadi justru banyak yang kontraproduktif dengan semangat pemerintah mencapai target ekonomi tertentu," katanya.
Ia menjelaskan, kalau seluruhnya diserahkan ke daerah tanpa ada penekanan pentingnya "roadmap" suatu kebijakan, justru memicu pejabat-pejabat di daerah mengambil tindakan yang menyimpang. Dicontohkan, dalam kasus pengalihan fungsi hutan lindung di Tanjung Api-Api yang melibatkan pejabat pemda dan anggota dewan Al Amin Nasution menjadi preseden buruk karena tidak adanya sistem pengawasan antara pusat dan daerah. "Kalau tidak ada niat untuk saling mengoreksi dan mengawasi bukan tidak mungkin kasus korupsi makin merebak," katanya.
Demikian halnya di bidang investasi, pemda dengan hak yang absolut menetapkan kebijakan penanaman modal di suatu daerah justru kontraproduktif dengan semangat pemerintah pusat menjarig investor sebanyak-banyaknya. "Iklim investasi di buka lebar, tetapi terjadi penolakan di daerah. Akhirnya daya saing daerah kembali terpuruk ke titik nol. Investor akan berpikir panjang untuk masuk ke sektor tertentu karena tidak adanya kepastian bisnis dan hukum," katanya.
Aviliani berpendapat, pemerintah tidak ada salahnya belajar dari negara lain dalam hal mengelola investasi seperti China yang menempatkan suatu kawasan tertentu sebagai tempat para investor menanamkan modalnya tanpa ada hambatan dari daerah.
"Ini bisa menekan "high cost economy" (ekonomi biaya tinggi) yang selama ini terjadi di daerah akibat tidak sinkronnya kebijakan penanaman modal, termasuk kebijakan sistem perpajakan yang tidak standar," katanya. Terkait dengan Pidato Presiden Yudhoyono tersebut, Aviliani berpendapat secara secara umum menjawab keinginan DPD akan tetapi ada catatan penting yaitu dibutuhkan langkah konkrit karena masih cenderung normatif, dan sedikit mengambang.
ForWebsites Directory
tags:
Wawasan dan ilmu pengetahuan
"Ini bisa menekan "high cost economy" (ekonomi biaya tinggi) yang selama ini terjadi di daerah akibat tidak sinkronnya kebijakan penanaman modal, termasuk kebijakan sistem perpajakan yang tidak standar," katanya. Terkait dengan Pidato Presiden Yudhoyono tersebut, Aviliani berpendapat secara secara umum menjawab keinginan DPD akan tetapi ada catatan penting yaitu dibutuhkan langkah konkrit karena masih cenderung normatif, dan sedikit mengambang.
0 komentar:
Posting Komentar