Oleh Sri-Edi swasono
(Guru besar UI)
Hampir dalam setiap seminar, simposium atau dialog mengenai perkoperasian ada yang bertanya ”kapan koperasi menjadai soko guru sebagaimana dicita-citakan oleh gerakan koperasi Indonesia.
Sebenarnya apa yang dicita-citakan itu bukan sekedar mengenai koperasi agar diposisikan demikian. Cita-cita itu merupakan konsepsi kerakyatan, yaitu system ekonomi berdasar demokrasi ekonomi Indonesia,yang ujung-ujungnya adalah system ekonomi nasional yang sesuai dengan pasal 33 UUD 1945, ditegaskan “…Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan…”
Adalah perekonomian, bukan hanya koperasi, yang harus disusun sebagai usaha bersama. Disusun artinyaa imperative dibentuk atau dibangun, tidak dibiarkan tersusun sendiri. Usaha-usaha bersama adalah suatu mutualisme yang mengutamakan kepentingan bersama. Asas kekeluargaan adalah brotherhood (atau ukhuwah), yang menegaskan hubungan antar sesame adalah ibarat keluarga, namun bukan kinship atau kekerabatan nepotistic.
Kita mulai saja dari kenyataan, kesokoguruan koperasi bukanlah ilusi. Sebagai contoh, bukankah industry rokok kita (industry terbesar di Indonesia setelah industry BBM) sokogurunya adalah koperasi tembakau rakyat dan koperasi cengkeh rakyat? Bukankah industry minyak goreng sokogurunya adalah koperasi kopra dan koperasi (plasma) sawit rakyat? Dan seterusnya, jawabnya “ya”.
Adalah perekonomian, bukan hanya koperasi, yang harus disusun sebagai usaha bersama. Disusun artinyaa imperative dibentuk atau dibangun, tidak dibiarkan tersusun sendiri. Usaha-usaha bersama adalah suatu mutualisme yang mengutamakan kepentingan bersama. Asas kekeluargaan adalah brotherhood (atau ukhuwah), yang menegaskan hubungan antar sesame adalah ibarat keluarga, namun bukan kinship atau kekerabatan nepotistic.
Kita mulai saja dari kenyataan, kesokoguruan koperasi bukanlah ilusi. Sebagai contoh, bukankah industry rokok kita (industry terbesar di Indonesia setelah industry BBM) sokogurunya adalah koperasi tembakau rakyat dan koperasi cengkeh rakyat? Bukankah industry minyak goreng sokogurunya adalah koperasi kopra dan koperasi (plasma) sawit rakyat? Dan seterusnya, jawabnya “ya”.
Demikian pula dapat diberikan contoh lain. Industry-industri kita, baik yang korporasi maupun yang menengah dan kecil kemampuan hidupnya (survival) bergantung pada kaum buruh yang berupah rendah. Bahkan ada yang lebih kecil dari UMR yang rendah.
Tak terkecuali pula pemerintahan Negara kita ini terselenggara dengan gaji pegawai negeri dan gaji prajurit yang rendah. Lantas, mengapa mereka yang beerupah dan bergaji rendah ini bisa bertahan hidup? Jawabnya adalah Karena adanya perekonomian rakyat yang mampu menyediakan kehidupan murah, yang mampu mempersembahkan low cost of living atau ekonomi biaya murah bagi rakyat (baik dalam wujud usaha koperasi maupun usaha bergotong royong dalam system kooperatif) merupakan soko guru dari perekonomian national. Konsepsi “trickle down effect” yang masih diajarkan diruang-ruang kelas gugur secara empiric, tidak benar dalam realita. Apa yang lebih benar terjadi di Indonesia adalah yang sebaliknya, yaitu trickle-up effect. Artinya, yang dibawah mendukung dan “menyubsidi” yang diatas dengan wujud menyediakan low cost economy. Beginilah arti “soko guru” atau “ketulangpungguan” itu.
Tak terkecuali pula pemerintahan Negara kita ini terselenggara dengan gaji pegawai negeri dan gaji prajurit yang rendah. Lantas, mengapa mereka yang beerupah dan bergaji rendah ini bisa bertahan hidup? Jawabnya adalah Karena adanya perekonomian rakyat yang mampu menyediakan kehidupan murah, yang mampu mempersembahkan low cost of living atau ekonomi biaya murah bagi rakyat (baik dalam wujud usaha koperasi maupun usaha bergotong royong dalam system kooperatif) merupakan soko guru dari perekonomian national. Konsepsi “trickle down effect” yang masih diajarkan diruang-ruang kelas gugur secara empiric, tidak benar dalam realita. Apa yang lebih benar terjadi di Indonesia adalah yang sebaliknya, yaitu trickle-up effect. Artinya, yang dibawah mendukung dan “menyubsidi” yang diatas dengan wujud menyediakan low cost economy. Beginilah arti “soko guru” atau “ketulangpungguan” itu.
Memang telah terjadi salah kaprah. Orang mengatakan ada tiga sokoguru ekonomi nasional, yaitu swasta, BUMN dan koperasi. Pandangan ini kurang tepat, ketiganya adalah tiga “wadah ekonomi”. Bukan “tulang punggung”. Bukan “tulang pungggung”. Celakanya, ekonomi rakyat yang vital itu justru digusur oleh pemda-pemda.
PKL-PKL di oprak-oprak, jadinya pembangunan menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan.
Pertama kali istilah “perekonomian rakyat” dan “ekonomi rakyat” dikemukakan oleh bapak koperasi kita pada 1931, sebagai lawan dikotomis dari “perekonomian colonial kapital” (Hatta, Daulat Ra’jat, 20 november 1931). Hal ini senada dengan orientasi kerakyatan yang kemudian menjiwai kemerdekaan Indonesia untuk melengserkan “Daulat Tuanku” dan menggantikanya dengan “Daulat Rakyat”.
Perekonomian colonial capital (kapitalisme colonial) ini bermula dari perompakan VOC, cultuurstelsel J Van Den Bosch dan pelaksanaan UU Agraria 1870 oleh pemerintah colonial belanda.
Perekonomian colonial capital (kapitalisme colonial) ini bermula dari perompakan VOC, cultuurstelsel J Van Den Bosch dan pelaksanaan UU Agraria 1870 oleh pemerintah colonial belanda.
Karena”perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan”, maka didalam usaha swasta dan BUMN pun harus hidup semangat usaha bersama dan asas kekeluargaan.
Sejak lama diharian ‘SP saya mengajukan konsepsi Triple-Co, yaitu prinsip co-ownership (pemilikan bersama), co-determination (penentuan/putusan bersama) dan co-responsibility (tanggung jawab bersama). Mengenai coo-ownership, dengan mudah dapat kita realisasi bila menteri BUMN tempo haritidak menjual indosat ke pihak asing. Sementara ppara pemilik telepon selular sebagai pelanggan indosat sebenarnya mampu membelinya dengan berbagai cara.
Demikian pula industry mie (super mie) tidak dijual ke asing selama pelanggan, distributor dan retail mampu membelinya. Negara harus memampukan rakyatnya menjadi co-owner, antara lain dengan equity-loan dan macam-macam skema lainya. Demikian seterusnya, BUMN-BUMN strategis dan badan usaha swasta strategis seharusnya dapat menghidupkan semangat kebersamaan usaha, sehingga terbentuk brotherhood nasional (ukhuwah wathoniah) secara ideal. Kata kuncinya adalah pertama, dengan co-ownership itu maka pelanggan adalah pemilik dan pemilik adalah pelanggan.
Itulah bentuk nyata kooperativisme. Kedua, dengan co-ownership maka dengan sendirinya terbentuk semangat dan mekanisme co-determination dan co-responsibility. Jadi, kita bicara tidak hanya sekedar pada tataran rumongso handerbeni (merasa ikut memiliki) tetapi melu handerbeni (benar-benar ikut memiliki). Kita tidak hanya bicara pada tingkatan stakeholders saja, tetapi merayap bertahap bicara pada tingkatan shareholders di bidang-bidang yang memungkinkan.
Dengan demikian, terbentuklah makna makro dari perekonomian rakyat. Rakyat menjadi pelanggandan pemilik. Dualisme ekonomi antara perekonomian rakyat yang dibawah dengan perekonomian modern yang diatas, yang saat ini duduk bersandingan secara terpisah, dapat tersambung dengan baik.
Pasal 33 UUD 1945 berada pada bab XIV, yang judulnya kesejahteraan social (dalam UUD 2002 Bab XIV) judulnya diubah oleh mindset liberalistic menjadi Perekonomian Nasional dan kesejahteraan social yang mereduksi posisi sentral substansial kesejahteraan social ke posisi residual.
Dengan konsep Triple-Co maka ekonomi rakyat solid terintegrasi dalam proses dan struktur ekonomi. Demokrasi ekonomi Indonesia lebih terwujud karena Triple-Co menghadirkan mekanisme dan substansi ekonomi yang tidak hanya partisipatori, tetapi sekaligus emansipatori.
Tatkala Mohammad Hatta pada 10 januari 1934 menulis artikel di Daulat Ra’jat dengan judul Ekonomi Rakyat dalam bahaya tokoh muda itu menegaskan perlunya doelmatige welvaartspolitiek (politik kemakmuran yang mengetahui tujuan).
Dalam Triple-Co ada tujuan yang jelas, ekonomi rakyat merambat dan terintegrasi ke dalam perekoomian nasional, usaha swasta dan BUMN di Pasal 33-kan. Sedang yang terjadi sekarang, pasal 33 di KUHD-kan oleh Washington Consensus (deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi). Untuk diingat roh KUHD (Wetboek Van Koopenhadel) adalah asas perorangan/individualisme, sedangkan ruh Pasal 33 UUD 1945 adalah kebersamaan. Lebih celaka lagi, menteri koperasi dan UKM lebih membangun UKM daripada membangun koperasi.
Membangun UKM terpisah dari lingkup perkoperasian bisa-bisa menjadi pembibitan kapitalis-kapitalis liberalis. RUU perkoperasian pun jelas mengarah kesitu, “menswastakan” koperasi, bukan “mengkoperasikan” swasta kapitalistik.
Memperkukuh kesokoguruan berdasar Triple-Co berarti mengangkat rakyat pada posisi substansial, tidak mereduksinya kedalam proses residual.
Demikian pula industry mie (super mie) tidak dijual ke asing selama pelanggan, distributor dan retail mampu membelinya. Negara harus memampukan rakyatnya menjadi co-owner, antara lain dengan equity-loan dan macam-macam skema lainya. Demikian seterusnya, BUMN-BUMN strategis dan badan usaha swasta strategis seharusnya dapat menghidupkan semangat kebersamaan usaha, sehingga terbentuk brotherhood nasional (ukhuwah wathoniah) secara ideal. Kata kuncinya adalah pertama, dengan co-ownership itu maka pelanggan adalah pemilik dan pemilik adalah pelanggan.
Itulah bentuk nyata kooperativisme. Kedua, dengan co-ownership maka dengan sendirinya terbentuk semangat dan mekanisme co-determination dan co-responsibility. Jadi, kita bicara tidak hanya sekedar pada tataran rumongso handerbeni (merasa ikut memiliki) tetapi melu handerbeni (benar-benar ikut memiliki). Kita tidak hanya bicara pada tingkatan stakeholders saja, tetapi merayap bertahap bicara pada tingkatan shareholders di bidang-bidang yang memungkinkan.
Dengan demikian, terbentuklah makna makro dari perekonomian rakyat. Rakyat menjadi pelanggandan pemilik. Dualisme ekonomi antara perekonomian rakyat yang dibawah dengan perekonomian modern yang diatas, yang saat ini duduk bersandingan secara terpisah, dapat tersambung dengan baik.
Pasal 33 UUD 1945 berada pada bab XIV, yang judulnya kesejahteraan social (dalam UUD 2002 Bab XIV) judulnya diubah oleh mindset liberalistic menjadi Perekonomian Nasional dan kesejahteraan social yang mereduksi posisi sentral substansial kesejahteraan social ke posisi residual.
Dengan konsep Triple-Co maka ekonomi rakyat solid terintegrasi dalam proses dan struktur ekonomi. Demokrasi ekonomi Indonesia lebih terwujud karena Triple-Co menghadirkan mekanisme dan substansi ekonomi yang tidak hanya partisipatori, tetapi sekaligus emansipatori.
Tatkala Mohammad Hatta pada 10 januari 1934 menulis artikel di Daulat Ra’jat dengan judul Ekonomi Rakyat dalam bahaya tokoh muda itu menegaskan perlunya doelmatige welvaartspolitiek (politik kemakmuran yang mengetahui tujuan).
Dalam Triple-Co ada tujuan yang jelas, ekonomi rakyat merambat dan terintegrasi ke dalam perekoomian nasional, usaha swasta dan BUMN di Pasal 33-kan. Sedang yang terjadi sekarang, pasal 33 di KUHD-kan oleh Washington Consensus (deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi). Untuk diingat roh KUHD (Wetboek Van Koopenhadel) adalah asas perorangan/individualisme, sedangkan ruh Pasal 33 UUD 1945 adalah kebersamaan. Lebih celaka lagi, menteri koperasi dan UKM lebih membangun UKM daripada membangun koperasi.
Membangun UKM terpisah dari lingkup perkoperasian bisa-bisa menjadi pembibitan kapitalis-kapitalis liberalis. RUU perkoperasian pun jelas mengarah kesitu, “menswastakan” koperasi, bukan “mengkoperasikan” swasta kapitalistik.
Memperkukuh kesokoguruan berdasar Triple-Co berarti mengangkat rakyat pada posisi substansial, tidak mereduksinya kedalam proses residual.
Sumber : www.suarapembaruan.com
tags:
gudang ilmu pengetahuan,
ilmu manajemen
Saya Achmad Halima Saya ingin menyaksikan karya bagus ALLAH dalam hidup saya untuk orang-orang saya yang tinggal di sini di Indonesia, Asia dan di beberapa negara di seluruh dunia.
BalasHapusSaat ini saya tinggal di Indonesia. Saya seorang Janda dengan empat anak dan saya terjebak dalam situasi keuangan pada MARET 2017 dan saya perlu membiayai kembali dan membayar tagihan saya,
Saya adalah korban penipuan pemberi kredit 3-kredit, saya kehilangan begitu banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang yang saya berutang, saya dibebaskan dari penjara dan saya bertemu dengan seorang teman, yang saya jelaskan mengenai situasi saya dan kemudian mengenalkan saya ke perusahaan pinjaman yang ALEXANDER ROBERT LOAN FIRM dapat diandalkan.
Bagi orang-orang yang mencari pinjaman? Jadi Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman di internet penipuan di sini, tapi mereka masih sangat nyata di perusahaan pinjaman palsu.
Saya mendapat pinjaman dari ALEXANDER ROBERT LOAN FIRM sebesar Rp900.000.000 dengan sangat mudah dalam waktu 24 jam setelah saya melamar, jadi saya memutuskan untuk membagikan karya bagus ALLAH melalui ALEXANDER ROBERT LOAN FIRM dalam kehidupan keluarga saya. Saya saran jika anda membutuhkan pinjaman silahkan hubungi ALEXANDER ROBERT LOAN FIRM. hubungi mereka melalui email:. (alexanderrobertloan@gmail.com)
Anda juga bisa menghubungi saya melalui email saya di (achmadhalima@gmail.com) jika Anda merasa sulit atau menginginkan prosedur untuk mendapatkan pinjaman.