PERMASALAHAN EKONOMI DALAM MASYARAKAT DAN INDIKATOR KEBERHASILAN EKONOMI
Pemerintah kelimpungan dalam membenahi negara ini. Segala sesuatu dianggap penting untuk dikerjakan. Akibatnya, karena kurang dalam memanajemeni diri sendiri, yang ada justru hal sebaliknya. Persoalan makin bertumpuk dan semakin banyak yang tidak terselesaikan.
Pemerintah terlibat dalam berbagai urusan dan kegiatan. Ada yang berhubungan dengan pembahasan Undang-Undang. Salah satu yang dibicarakan belakangan ini adalah penyusunan RUU Kementerian Negara dan RUU Pemilu. Pihak legislatif ngotot mempertahankan pendapatnya, sementara pemerintah juga memiliki sikap yang sama. Masing-masing merasa berhak mempertahankan cara pandangnya karena merasa mereka membawa kepentingan masyarakat.
Tetapi kita tahu bahwa semuanya tidak demikian. Ketika persoalan sudah masuk ke dalam wilayah politik, kita cenderung tidak mempercayai sebaik apapun niat itu. Sebab berdasarkan kenyataan selama ini, segala sesuatu akan diukur berdasarkan kepentingan politik yang dihasilkannya. Ambil contoh mengenai rencana pembatasan pendidikan calon presiden sebagaimana disusun dalam draft yang dipersiapkan oleh menteri dalam negeri. Media memberitakannya dan menggambarkan bahwa usulan itu adalah usulan yang mengada-ngada. Sebab salah satu media menyatakan, bahwa mereka yang berpendidikan doktor saja belum tentu bisa mengurus negara ini.
Apa yang kita sampaikan di atas adalah kenyataan terbaru di negara ini. Ketika musim menjelang pemilihan umum kita tahu bahwa segala energi dari seluruh elit bangsa ini digerakkan untuk mendukung mereka. Bukannya untuk menolong bangsa keluar dari kemelut, energi yang ada pada mereka digunakan untuk menciptakan persaingan, saling menjegal dan menghambat lawan politik. Padahal, kita tahu dan sangat prihatin kini bahwa masyarakat sedang mengalami penderitaan ekonomi yang amat sangat. Bencana demi bencana, penderitaan demi penderitaan, semuanya mendera masyarakat bahkan hampir-hampir tak sempat bernafas. Masyarakat sedang mengalami penderitaan ekonomi.
Kita semua kelihatannya tak bisa melihat ini sebagai fokus. Sebuah penelitian kajian politik yang terbaru menyatakan bahwa masalah politik selalu dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi. Faktanya, dimana perputaran uang paling tinggi, partisipasi pemilih-apapun pilihannya-biasanya akan lebih tinggi. Orasi Menko Ekuin beberapa waktu yang lalu juga mengandung kebenaran yang sama. Disampaikan bahwa semakin baik pertumbuhan ekonomi, semakin baik pula demokrasi.
Jadi dengan demikian, buat apa para elit politik menyibukkan diri saling berkompetisi sementara masyarakat sudah punya pertimbangan sendiri? Inilah yang amat disayangkan. Kita harus merasa kasihan pada para elit kita. Mereka menyangka bahwa masyarakat akan prihatin pada kegiatan politik yang mereka kerjakan. Padahal kita tahu bahwa masyarakat tidak demikian. Masyarakat sudah punya pertimbangan dan preferensi sendiri.
Yang patut disesali adalah jikalau pemerintah pun terlibat dalam logika yang tidak ada artinya tadi. Sebab tugas dan kewajiban pemerintah hanyalah satu, yaitu bagaimana memakmurkan seluruh masyarakat. Tugas itu harus diemban dalam musim pancaroba apapun yang terjadi. Tugas itu adalah panggilan yang tidak boleh diabaikan. Itu sangat diperlukan supaya masyarakat jangan terus menerus menjadi korban dari setiap kebijakan pemerintah.
Gambaran Umum Indikator Keberhasilan Bidang Ekonomi Masyarakat
1. Penurunan jumlah penerima BLT
a. Tahun 2007 : 1796 KK
b. Tahun 2008 : 1692 KK
2. Upaya peningkatan ekonomi masyarakat di antaranya:
a. Turut membentuk dan membina koperasi bersama Diskopindagtan dan Dekopinda saat ini tercatat 2 koperasi berbadan hukum dan 8 pra koperasi
b. Memfasilitasi kegiatan UKM dan penyaluran kredit mikro dari Bank Jabar Cimahi
c. Fasilitasi Program Desa Pertumbuhan melalui Pendekatan Kooperatif dari Dinas KUKM Provinsi Jawa Barat
d. Memfasilitasi kegiatan KUBE (Kelompok Usaha Bersama) dengan PKK, PSM dan Karang Taruna
e. Ikut memfasilitasi pelatihan keterampilan dengan PSM Kelurahan
f. Fasilitasi kegiatan PUAP (Program Usaha Agribisnis Perdesaan) dari Departemen Pertanian
Pandangan tradisional beranggapan yang membedakan antara negara maju dengan Negara Sedang Berkembang (NSB) adalah pendapatan rakyatnya. Dengan ditingkatkannya pendapatan per kapita diharapkan masalah-masalah, seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan distribusi pendapatan yang dihadapi NSB dapat terpecahkan, misalkan melalui apa yang dikenal dengan “dampak merembes ke bawah” (trickle down effect). Indikator berhasil tidaknya pembangunan semata-mata dilihat dari meningkatnya pendapatan nasional (GNP) per kapita riel, dalam arti tingkat pertumbuhan pendapatan nasional harus lebih tinggi dibanding tingkat pertumbuhan penduduk. Kecenderungan di atas terlihat dari pemikiran-pemikiran awal mengenai pembangunan, seperti teori Harrod Domar, Arthur Lewis, WW Rostow, Hirschman, Rosenstein Rodan, Nurkse, Leibenstein.
Perkembangan selanjutnya, banyak NSB mulai menyadari bahwa “pertumbuhan” (growth) tidak identik dengan “pembangunan” (development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang dapat dicapai, namun dibarengi dengan masalah-masalah, seperti pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural.
Inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang tentang arti pembangunan. Maka, muncul paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri (self-reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment).
Indikator Pembangunan
Indikator pembangunan diperlukan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pembangunan yang dilakukan berdasarkan ukuran-ukuran tertentu. Indikator-indikator kunci pembangunan secara garis besar pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi (1) indikator ekonomi; (2) indikator sosial. Sedangkan yang termasuk sebagai indikator ekonomi adalah GNP (GNI) per kapita, laju pertumbuhan ekonomi, GDP per kapita dengan Purchasing Power Parity, sedangkan yang termasuk indikator sosial adalah Human Development Index (HDI) dan PQLI (Physical Quality Life Index) atau Indeks Mutu Hidup.
Untuk tujuan operasional dan analitikal, kriteria utama Bank Dunia dalam mengklasifikasikan kinerja perekonomian suatu negara adalah Gross National Income (GNI) atau Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita yang merupakan pendapatan nasional bruto dibagi jumlah populasi penduduk. Bank Dunia (2003) mengklasifikasikan negara berdasarkan tingkatan GNI per kapitanya, yaitu (1) negara berpenghasilan rendah (low-income economies), (2) negara berpenghasilan menengah (middle-income economies). Dalam kelompok negara berpenghasilan menengah dapat dibagi menjadi negara berpenghasilan menengah papan bawah (lower-middle-income economies) dan negara berpenghasilan menengah papan atas (upper-middle-income economies), (3) negara berpenghasilan tinggi (high-income economies), (4) dunia (world) meliputi semua negara di dunia, termasuk negara-negara yang datanya langka dan dengan penduduk lebih dari 30.000 jiwa.
Indikator program berbasis masyarakat
1. Goals
- Kualitas hidup
- Keberdayaan masyarakat (aktualisasi diri dan koaktualisasi eksistensi komunitas)
- Kemandirian masyarakat
- Ketahanan masyarakat
2. Outcomes
- Apresiasi (kesadaran, tanggung jawab & peran aktif)
- Pemanfaatan sumber sosial berkelanjutan
- Mekanisme penanganan & pencegahan oleh masyarakat
3. Outputs
- Pengendalian (bobot dan pertumbuhan) masalah sosial
- Peningkatan cakupan pelayanan (coverage rate)
- Derajat penggunaan potensi dan sumber masyarakat
- Peran aktif masyarakat
Seo Directory
tags:
seputar indonesia
0 komentar:
Posting Komentar