Telah dibahas dalam kajian pertama bahwa sistem pemerintahan Islam tegak di atas tiga pilar: tanggungjawab pemerintah, kesatuan ummat, dan penghargaan terhadap aspirasi rakyat. Kesemuanya telah terwujud sempurna pada masa khulafaur rasyidin. Para Khalifah ini memiliki rasa tanggungjawab yang besar dalam mengemban amanah yang dipikulkan di atas pundak mereka selaku pemimpin. Hal ini tercermin baik dalam pidato-pidato mereka maupun perilaku mereka selama memimpin. Berbagai kebijakan yang telah diambil juga dirasakan keadilannya oleh seluruh rakyat yang dipimpinnya. Simaklah pidato Umar bin Khattab ketika baru diangkat sebagai khalifah, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah diangkat untuk menjadi pemimpin kalian. Kalau bukan Rasulullah aku diharap untuk menjadi yang terbaik di antara kalian, yang paling kuat untuk bisa mengurusi kalian, dan paling sensitif untuk bisa menyelesaikan perkara-perkara penting kalian, tentu aku tidak akan mau menjadi pemimpin di antara kalian. Cukuplah tugas Umar ini begitu menyedihkan, sambil menanti detik-detik hari perhitungan. Dia mengambil dan meletakkan hak-hak kalian sebagaimana yang telah ia lakukan dan ia hidup bersama kalian sebagaimana ia telah lakukan. Sungguh Tuhankulah Dzat yang berhak dimintai pertolongan”. Umar merasa tidak mempunyai kekuatan kecuali jika ada rahmat, pertolongan, dan dukungan dari Allah. Berkenaan dengan besarnya rasa tanggungjawab sebagai pemimpin beliau berkata, “Seandainya ada unta yang hilang di dekat sungai eufrat, sungguh saya khawatir jangan-jangan keluarga Khattab yang akan dimintai pertanggungjawaban.”
Sementara itu Umar bin Abdul Aziz dalam sebuah khutbahnya mengatakan, “Amma ba’du, sesungguhnya tidak ada seorang Nabi pun setelah Nabi kalian Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam. Tidak ada kitab yang akan diturunkan setelah Kitab yang diturunkan kepada beliau. Ingatlah bahwa apa yang dihalalkan oleh Allah itu akan tetap halal sampai hari kiamat dan apa yang diharamkan Allah akan tetap haram sampai hari kiamat. Aku bukanlah seorang hakim tetapi aku seorang penyeru kepada keselamatan. Aku bukanlah seorang mubtadi’ (pembuat bid’ah) tapi aku seorang muttabi’ (yang berittiba kepada Rasulullah). Tidak ada seorang pun yang boleh ditaati dalam bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya, aku bukanlah yang terbaik di antara kalian, hanya saja Allah telah menjadikan aku orang yang paling berat dalam menanggung beban daripada kalian”.
Tampuk kekuasaan diserahkan kepada Umar bin Abdul Aziz setelah pemakaman Sulaiman bin Abdul Malik (Khalifah sebelumnya). Namun beliau meminta untuk ditunda. Beliau kemudian menaiki kudanya dan kembali ke rumah. Salah seorang pelayannya yang bernama Muzahim masuk ke rumah seraya berkata, “Wahai amirul mukminin, kelihatannya ada yang penting?” Beliau menjawab, “Perkara yang menimpaku saat inilah yang kuanggap sangat penting. Sesungguhnya tidak ada satupun ummat Muhammad di Barat maupun di Timur kecuali punya hak yang aku harus menunaikannya, meskipun ia tidak menuliskan atau memintanya kepadaku untuk melaksanakannya”.
Dulu ummat bersatu kata dengan berpegang teguh kepada tali-tali agama, yakni akan keutamaan hukum-hukumnya, memelihara perintah Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam dan peringatan keras beliau untuk menjaga persatuan. Demikian, pentingnya arti jamaah dan persatuan di bawah naungannya, sampai-sampai Rasulullah memerintahkan untuk membunuh siapa saja yang memisahkan diri dari jamaah dan keluar dari ketaatan. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang datang kepada kalian - sementara kalian sudah bersatu - untuk memecah belah kekuatan kalian, maka penggallah ia dengan pedang, bagaimana pun keadaannya”.
Sebagaimana beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan menentang jamaah kemudia ia mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah. Dan barangsiapa yang berperang di bawah bendera ashobiyah, marah karena ashobiyah, menyeru kepada ashobiyah, atau menghidupkan ashobiyah, kemudian, ia mati terbunuh maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah. Barangsiapa yang keluar dari ummatku, mencela yang baik maupun yang buruknya, tidak mau berhati-hati terhadap orang-orang mukmin dan tidak mau menepati janji, maka dia tidak termasuk golonganku dan aku bukan bagian daripadanya”.
Demikian, juga aspirasi dan kehendak rakyat, ia merupakan sesuatu yang sangat dihormati dan dihargai. Abu Bakar tidak memutuskan suatu keputusan pun bagi rakyatnya, kecuali setelah bermusyawarah dengan mereka, terutama dalam hal yang tidak ada nash hukumnya. Demikian, pula Umar bin Khattab. Untuk menduduki posisi Khilafah sesudahnya, beliau menunjuk enam orang - yang Rasulullah ridha kepadanya sampai akhir hayatnya - untuk bermusyawarah.
Pada saat ini kaum muslimin di negeri kita telah mengadopsi sistem demokrasi dan parlemen dari Eropa, dan menjadikannya sebagai pijakan pemerintahan kita. Maka sejauh manakah kesesuaiannya terhadap Islam ? Manfaat apa yang bisa kita peroleh dari diterapkannya di negeri kita selama lebih dari setengah abad?
Sikap Islam Terhadap Demokrasi dan Sistem Perwakilan
Sebagaian ummat menganggap demokrasi sebagai suatu kemungkaran dan kekafiran yang nyata, sementara mereka belum mengetahui secara persis apa itu hakikat dan esensi demokrasi tersebut. Mereka hanya mengetahui kulit luarnya saja dan langsung mengecam kelompok lain yang memanfaatkan sistem demokrasi dalam memperjuangkan dakwah Islam. Karena itulah DR. Yusuf Qardhawi di dalam bukunya “Fiqhud dawlah” menjawab dengan tangkas berbagai bentuk keraguan tentang hubungan Islam dengan demokrasi.
Menurut beliau hakikat demokrasi - berbeda jauh dengan definisi dan terminologi akademis kebanyakan orang - adalah bahwa rakyat memilih orang yang akan memerintah dan menata persoalan mereka, tidak boleh dipaksakan kepada mereka penguasa yang tidak mereka sukai atau rejim yang mereka benci. Dalam demokrasi yang sebenarnya masyarakat diberi hak untuk mengoreksi penguasa bila dia keliru, diberi hak untuk mencabut dan menggantinya bila dia menyimpang. Mereka tidak boleh digiring dengan paksa untuk mengikuti berbagai sistem ekonomi, sosial, dan politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka sukai. Bila sebagian mereka menolak, maka mereka tidak boleh disiksa, dianiaya atau dibunuh.
Demokrasi yang sebenarnya memberikan beberapa bentuk dan cara praktis seperti pemilihan dan referendum umum, mendukung pihak mayoritas, menerapkan sistem multi partai, memberikan hak kepada minoritas untuk beroposisi, menjamin kebebasan pers dan kemandirian peradilan. Hakikat demokrasi seperti ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam sebab Islam tidak membenarkan seorang yang dibenci atau tidak disukai makmum menjadi imam mereka. Nabi berkata, “Ada tiga tipe orang yang sholatnya tidak naik di atas kepalanya walaupun satu jengkal. Yang pertama dari mereka “orang yang mengimami suatu kaum sedang ia dibenci oleh kaum itu”. Dalam masalah politik Nabi bersabda, “Imam atau pemimpin kalian yang terbaik adalah orang-orang yang kalian cintai dan mereka yang mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka juga mendoakan kalian. Imam atau pemimpin kalian yang terburuk adalah orang-orang yang kalian benci mereka juga membenci kalian, kalian mencela mereka dan mereka juga mencela kalian”.
Islam dapat menerima demokrasi karena ajarannya mencela penguasa diktator atau penguasa yang mengaku tuhan di muka bumi. Kisah-kisah yang diceritakan Al Qur-an kepada kita menjadi pelajaran bahwa para diktator seperti Namrudz di zaman Ibrahim AS, dan Fir’aun di zaman Musa AS adalah model penguasa yang dibenci Allah dan kaum muslimin harus menganggapnya sebagai sumber kemungkaran. Dari kisah Musa AS, Al Qur-an mengungkapkan bahwa kediktatoran terbangun berdasarkan aliansi empat pihak yang keji dan tercela,
Pertama: Penguasa yang angkuh yang mengaku tuhan di muka bumi, yang berlaku sewenang-wenang terhadap hamba-hamba Allah, penguasa seperti ini penggambarannya diwakili oleh Fir’aun.
Kedua, Politikus oportunis yang menggunakan kepintaran dan pengalamannya untuk melayani kepentingan penguasa tiran, untuk memantapkan kekuasaan dan meningkatkan popularitasnya, sehingga dia selalu dipatuhi rakyat. Politikus seperti ini diwakili oleh Haman.
Ketiga, Kapitalis dan feodalis yang mengambil manfaat dari pemerintahan yang zalim. Mereka mendukung pemerinthan ini dengan mengeluarkan sebagian hartanya untuk mendapatkan harta yang lebih banyak lagi dengan memeras keringat dan darah rakyat. Kelompok ini diwakili oleh Qarun.
Keempat, Para penasihat spiritual, para dukun, yang selalu menipu rakyat dengan meligitimasi perbuatan zalim penguasa berdasarkan pembodohan rakyat dengan dalil-dalil supranatural. Kelompok ini diwakili oleh tukang-tukang sihir Fir’aun termasuk mantan ulama bernama Bal’aam bin Baura. Keempat kelompok ini bergabung karena kepentingan materi dan pemuasan syahwat. Al Qur-an mengungkapkan aliansi keempat kelompok tersebut dan sikap mereka dalam menghadang risalah Musa AS, sehingga akhirnya Allah membungkam mereka dengan kekuasaan-Nya.
Dengan cermat sekali Al Qur-an mengaitkan antara kezaliman penguasa dengan tersebarnya kerusakan, yang merupakan penyebab runtuhnya berbagai bangsa di masa lalu, apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Aad, (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamut yang memotong batu-batu yang besar di lembah, dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negerinya, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab, sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi. (QS. 89. Al Fajr:6-14).
Kadang-kadang Al Qur-an mengungkapkan “kezaliman” dengan kata “keangkuhan”, yaitu kesombongan dan keangkara murkaan dengan menghina dan merendahkan hamba-hamba Allah. Allah berfirman tentang Fir’aun.
Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. 28. Al Qashsas:4)
Firman Allah, sesungguhnya dia adalah orang yang sombong, salah seorang dari orang-orang yang melampaui batas. (Ad Dukhan: 3). Disamping mencela penguasa yang sombong dan mengaku tuhan. Al Qur-an juga mencela bangsa yang tunduk kepada orang-orang yang zalim itu. Al Qur-an membebankan tanggungjawab ke pundak berbagai bangsa itu berikut para pemimpinnya. Firman Allah tentang kaum Hud, “Dan itulah kisah kaum Aad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, dan mendurhakai Rasul-rasul Allah dan menuruti semua perintah penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran)”. (Hud: 59)
Firman Allah, sesungguhnya dia adalah orang yang sombong, salah seorang dari orang-orang yang melampaui batas. (Ad Dukhan: 3). Disamping mencela penguasa yang sombong dan mengaku tuhan. Al Qur-an juga mencela bangsa yang tunduk kepada orang-orang yang zalim itu. Al Qur-an membebankan tanggungjawab ke pundak berbagai bangsa itu berikut para pemimpinnya. Firman Allah tentang kaum Hud, “Dan itulah kisah kaum Aad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, dan mendurhakai Rasul-rasul Allah dan menuruti semua perintah penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran)”. (Hud: 59)
Firman Allah tentang kaum Fir’aun, maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataanitu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik” (Az Zukhruf:54)
Tapi mereka mengikuti perintah Fir’aun , padahal perintah Fir’aun sekali-kali bukanlah perintah yang benar. Ia berjalan di muka kaumnya di hari kiamat lalu memasukkan mereka ke dalam neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi. (Hud: 97-9 8)
Al Qur-an membebankan tanggungjawab kepada berbagai bangsa itu karena merekalah yang menjadikan Fir’aun sebagai Fir’aun yang zalim dan kejam. Hal ini sejalan dengan anekdot yang sering dikemukakan di masyarakat. Ketika Fir’aun ditanya, “Kenapa kamu jadi Fir’aun?” Dia menjawab, “Saya tidak menemukan orang yang akan meluruskan tindakan saya”.
Bila demokrasi di tengah suatu masyarakat dibangun untuk memberdayakan masyarakat tersebut, untuk menolak kediktatoran suatu rezim, atau untuk membangun iklim dan budaya musyawarah di tengah masyarakat, maka Islam mengakui dan menerima demokrasi. Bahkan prinsip-prinsip demokrasi yang seperti itu sejalan atau mendekati amar ma’ruf nahi munkar, tawsiyah bil hak, dan upaya-upaya menegakkan keadilan. Norma-norma dan prinsip penentangan terhadap kezaliman telah lebih dahulu di tetapkan Islam jauh sebelum adanya istilah “demokrasi” di muka bumi. Namun Islam menyerahkan perinciannya kepada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan nilai-nilai dasar agama mereka, dan sejalan pula dengan kepentingan duniawi dan perkembangan kehidupan mereka di setiap tempat dan waktu.
Melalui perjuangan panjang melawan kezaliman dan para diktator dari kalangan raja dan kaisar, demokrasi membentuk berbagai sarana yang sampai sekarang masih dianggap sebagai sarana terbaik untuk menjamin dan melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan kaum tiran, walaupun disana sini masih terdapat kekurangan, karena kreasi manusia memang tidak ada yang sempurna.
DR. Yusuf Qardhawi mengatakan, “Tidak ada salahnya bagi suatu bangsa, bagi pemimpin dan pemikirnya, untuk berpikir dengan menggunakan berbagai konsep lain, barangkali dia akan menemukan sesuatu yang lebih baik dan sempurna. Namun sebelum hal itu dapat terwujud dan terlaksana dalam kenyataan, maka sebaiknya kita mengambil pelajaran dari berbagai konsep dan prinsip demokrasi yang ada, demi terwujudnya keadilan, musyawarah, menghormati hak-hak asasi manusia, dan menghadapi para penguasa tiran yang berlaku angkuh di muka bumi.
Di antara kaidah syariat yang telah disepakati adalah segala sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengannya, maka dia juga wajib. Dan bila terbukti suatu sarana diperlukan untuk merealisir tujuan syariat, maka sarana itu sama hukumnya dengan tujuan itu. Secara syariat tidak ada halangan untuk memanfaatkan gagasan politis atau solusi praktis dari non-muslim. Contohnya, dalam perang Al Ahzab, Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam pun menerima pemikiran”menggali parit” di seputar kota madinah yang seperti diketahui pemikiran tersebut berasal dari Persia.
Pemilu dan Sistem Perwakilan Kita Dalam Pandangan Islam
Di antara sistem demokrasi yang lazim berlaku adalah sistem pemilihan umum. Menurut pandangan Islam, Pemilu merupakan “kesaksian” terhadap calon atas kelayakannya. Karena itu pemilih diharuskan memenuhi persyaratan seorang saksi, seperti adil dan di atas usia tertentu. Persyaratan keadilan boleh saja diringankan sesuai dengan keadaan, sehingga rakyat dapat memberikan kesaksian sebanyak mungkin. Semua orang diharapkan memberikan kesaksian, kecuali orang yang telah dibuktikan pengadilan melakukan tindak kriminal yang mencemari kehormatan dan harga diri dan seumpamanya.
Di Indonesia, yang diberikan kesaksian di dalam Pemilu adalah Partainya. Sayang karena kebodohan masyarakat terhadap politik mereka tidak mengetahui kualitas kandidat-kandidat calon wakil rakyat yang diajukan oleh Partai tersebut. Padahal dalam kesaksian ini setiap muslim dituntut untuk sejujurnya memberikan penilaian kepada Partai dan orang yang menjadi kandidat tersebut.
Karena itu siapa yang memberikan kesaksian bahwa seorang itu baik, padahal sesungguhnya dia tidak baik maka dia telah melakukan persaksian palsu yang tergolong dusta yang dosanya disejajarkan dengan menyembah berhala, “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”. (Al Hajj: 30)
Orang-orang yang memberikan suaranya dalam pemilihan umum kepada seorang calon bahwa dia baik dan layak untuk dipilih hanya karena yang bersangkutan adalah kerabat dan putera daerahnya, atau karena kepentingan pribadi, maka dia telah melanggar perintah Allah, “Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”.(Ath Tholaq: 2)
Sebaiknya suara diberikan dengan landasan karena Allah dengan kriteria yang sesuai dengan kehendak Allah yaitu kepada orang yang paling taqwa kepada-Nya dan terbaik dalam beramal soleh di tengah kehidupan masyarakat. Maka para calon itu hendaknya diketahui kualitas agamanya, kebiasaan amal solehnya, dan kemampuannya beramar ma’ruf dan nahi munkar. Identitas mereka tidak boleh disembunyikan.
Pemilu menunjukkan wala (loyalitas) seorang pemilih kepada orang-orang yang dipilihnya. Tingkat terendah dari wala adalah afiliasi kepada orang atau Partainya. Karena itu seorang muslim memilih harus berdasarkan firman Allah berikut,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) (QS. 4. An Nisaa:144)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. 5. Al Maaidah:51)
Pemilu itu pada dasarnya untuk memilih wakil rakyat. Para pakar hukum perundang-undangan mengatakan bahwa sesungguhnya sistem perwakilan itu ditegakkan di atas fondasi tanggungjawab pemerintah, kedaulatan rakyat, dan penghargaan terhadap aspirasi mereka. Dalam sistem perwakilan juga tidak ada yang menghalangi persatuan dan kesatuan ummat. Perpecahan dan perbedaan pun termasuk syarat tegaknya, kendati sebagian dari mereka bahwa salahsatu tiang penyangga sistem parlementer adalah sistem kepartaian. Akan tetapi kalaupun ini telah menjadi tradisi, sesungguhnya ia bukan merupakan fondasi bagi tegaknya sistem ini. Karena sangat mungkin sistem parlementer tanpa adanya partai dan tanpa keluar dari kaedah-kaedah aslinya.
Atas dasar ini tidak ada kaidah-kaidah sistem parlemen yang bertentangan dengan kaidah-kaidah yang digariskan oleh Islam dalam menata pemerintahan. Dengan demikian, berarti sistem parlemen tidak jauh melenceng dan tidak asing bagi sistem Islam. Karena itulah sewajarnya kaum muslimin mempunyai Partai, ikut serta dalam Pemilu, mempunyai wakil-wakil di Parlemen untuk menyuarakan aspirasi mereka di tengah bangsanya yang majemuk. Tanpa kehadiran mereka, ada banyak keburukan akan terlahir dari dua poros besar.
Pertama, munculnya pemimpin-pemimpin yang dibenci oleh Ummat Islam. Yaitu pemimpin yang akan bertindak diktator dengan mengatasnamakan demokrasi.
Kedua, semakin leluasanya orang-orang kafir dan sekuler membuat undang-undang dan aturan yang akan merugikan Islam dan kaum muslimin.
Submit Your Link
tags:
sejarah islam dan nabi



0 komentar:
Posting Komentar